Tulisan 1: Implementasi HAM di India
Menengok kembali peristiwa di akhir tahun lalu, dunia disentakkan oleh peristiwa tragis yang terjadi Rabu malam (26/11), yaitu peristiwa Mumbai. Penyerang bersenjata api, granat, bahan peledak dan amat terlatih, menyerbu warga sipil pada 10 tempat di pusat keuangan India, Mumbai. Teror yang terjadi di India baru-baru ini adalah yang terbesar dalam tiga tahun terakhir ini. Aksi brutal tersebut menelan korban 183 terbunuh dan 295 orang luka-luka, korban di pihak keamanan berjumlah 15 orang. Target terbesar yang diserang adalah Hotel Taj Mahal Palace dan Tower, simbol kemewahan Mumbai sejak 1903 yang menjadi tempat pavorit kalangan elite di sana. Meminjam istilah A.C. Manullang, “lokasi selebritis” lagi-lagi menjadi sasaran teroris.
Penanganan yang terbilang lamban itu (butuh waktu 60 jam), mengindikasikan kurangnya kerja sama pemerintah dan rakyat dalam mengantisipasi teror, apalagi sebelumnya pihak keamanan dan intelejen telah mendapatkan data awal rencana penyerbuan tersebut, peringatan akan terjadinya serangan terhadap Hotel Taj Mahal juga sudah disampaikan oleh badan intelejen Amerika Serikat. Wajarlah jika kegagalan menangkal aksi teror itu membuat pejabat yang berwenang di India, dalam hal ini menteri pertahanan, diikuti pimpinan lembaga terkait mengundurkan diri.
Hal yang Ironis adalah, lantaran semua penyerang warga negara Pakistan, dan dicurigai dilatih oleh kelompok terlarang dari Pakistan, hampir saja hubungan antara India dan Pakistan kembali memanas. Sikap Pakistan yang merespons dengan cepat dengan menawarkan kerja sama kedua negara sehingga bisa meredam kemarahan pemerintah India, patut dijadikan teladan dalam menyikapi aksi teror. Peristiwa Mumbai tersebut juga mestinya mengingatkan dunia akan pentingnya usaha dunia memperjuangkan perlindungan terhadap martabat kemanusiaan melalui Deklarasi Universal HAM.
Trauma dunia
Deklarasi universal HAM lahir karena trauma dunia yang mendalam akibat perang yang membawa korban jutaan manusia. Malapetaka perang dunia ke II dan kekejaman NAZI sangat mengejutkan dunia, sehingga sebelum perang dunia itu berakhir pun sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus melindungi hak asasi manusia (lihat,Scott David, Hak asasi Manusia) .
Perjuangan HAM yang bersifat mendunia itu semakin nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan piagam PBB tersebut dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan kepercayaannya akan HAM yang bersifat universal. Perjuangan HAM yang bersifat internasional itu akhirnya melahirkan Deklarasi niversal HAM yang lahir tanggal 10 Desember 1948.
Setelah trauma perang dunia, implementasi HAM terus mengalami tantangan, baik ancaman perang nuklir yang menjadi momok pada masa perang dingin, maupun aksi-aksi teroris pasca perang dingin. Perjuangan untuk mengimplementasikan Deklarsi Universal HAM tampaknya menjadi perjuangan yang tak pernah mengenal kata berhenti.
Kerjasama antar bangsa
Penggunaan istilah perang terhadap teroris masih jadi polemik, “perang terhadap teroris seakan menampilkan sesuatu yang tak berwujud menjadi sesuatu yang berwujud” komentar Jacques Derida. George Bush telah menciptakan Osama Bin Laden sebagai musuh dunia, simbol dari yang tak berwujud, yakni teroris. Parahnya, bukan hanya Afghanistan yang menolak menyerahkan Osama Bin Laden mengalami gempuran Amerika karena dianggap menjadi sarang teroris, Irak juga mengalami nasib naas, dijadikan simbol negara teroris dengan isu pemilikan senjata pemusnah massal. Padahal tak ada satu pun negara yang setuju dengan teroris, bahkan mereka yang dituduh teroris pun tak pernah mengakui diri sebagai teroris, karena teroris adalah klaim yang dilontarkan oleh pihak yang menerima ancaman.
Faktanya, meski negara-negara yang dianggap merepresentasikan teroris telah digempur, ancaman teroris tak pernah surut, karena itu India pun harus berhati-hati menyikapi teror Mumbai. Merepresentasikan Pakistan sebagai negara teroris tidak hanya akan menghancurkan perdamaian kedua negara yang sedang diusahakan, tetapi juga berarti India telah termakan jebakan teroris.
Untuk menghadapi ancaman teroris, semua negara mesti bekerja sama, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam deklarasi universal HAM. Kerjasama antar bangsa ini akan memperkuat tiap negara untuk menangkal teror yang mengancam di dalam negeri mereka, dan kemudian secara bersama-sama memutus rantai teroris Internasional.
Kerja sama antar bangsa itu juga menjadi penting dalam krisis yang melanda dunia kali ini. Pada banyak negara maju akibat dari resesi mungkin tidak separah yang menimpa negara berkembang, terlebih lagi negara miskin. Pada negara maju korban PHK masih dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi pada banyak negara miskin dan berkembang, bahaya kelaparan menjadi ancaman serius. Perjuangan hak-hak ekonomi masyarakat pada negara-negara miskin khususnya mesti mendapat dukungan negara-negara kaya agar jurang antara negara kaya dan negara miskin yang menjadi salah satu penyebab kemunculan teroris dapat dipersempit.
Indonesia, sebagai negara yang telah mengalami pahit getirnya hidup di gempur oleh beragam teror mesti mengambil pelajaran dari semuanya itu. Perintah Presiden Susilo Bambang Yudoyono agar polisi dan tentara berlatih bersama untuk mengantispasi ancaman komunis adalah tepat, dan itu akan lebih maksimal jika rakyat juga ikut mendukung.
Hal yang lebih mendesak lagi adalah kita mesti berjuang bersama mengimplementasikan Deklarasi Universal HAM untuk meredam aksi teror, bukan hanya memenuhi hak-hak sipil warga negara, tetapi juga hak-hak ekonomi mereka, khususnya dalam menghadapi badai PHK yang sedang melanda negeri ini.
(Pendidikan Kewarganegaraan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar